Jatuh Cinta pada Dangdut, Akhirnya Kasmaran pada Tembang Jawa

20 May 2016

BAKAT menyanyi itu sudah mengalir di darah Fadhilah Nur Aini tatkala usianya masih tiga tahun. Adalah kedua orang tuanya yang punya andil membagi bakat seni tersebut. Sebab, ayah dan ibu Dila, sapaannya, memang gemar menyanyi. Bahkan, kegiatan itu wajib dilakukan bersama seluruh keluarga setiap Sabtu.

’’Kami selalu menghabiskan liburan bersama dengan bernyanyi,’’ kata Paswindarti, ibunda Dila. Karena itu, talenta Dila terpupuk di dalam keluarganya sejak kecil. Dila pun jatuh cinta pada musik. Dan cinta pertama tersebut dilabuhkannya pada dangdut karena lagunya mendayu-dayu.

Rasanya, cinta pada dangdut tersebut sekadar cinta monyet yang tiba-tiba lenyap. Itu terjadi saat Dila masuk SMPN 3 di Praban. Dia ikut ekstrakurikuler karawitan. Lagu-lagu Jawa yang baru dikenalnya ternyata membuatnya penasaran dan ingin belajar lebih. Lagu pertama yang berhasil membuat Dila penasaran adalah Caping Gunung. Dasar bakat, tidak sampai sepekan Dila sudah menguasai makna lagu tersebut. Dia juga bisa membawakannya secara apik.

Dalam satu semester, Dila akhirnya mulai terjun ke jenis lagu Jawa yang baru. Yang pertama adalah lagu berdasar geguritan (puisi Jawa). Lagu itu terbilang ringan, seperti tembang-tembang pop campursari lain. Yang kedua adalah macapat.

Di dalam ranah kebudayaan Jawa, macapat termasuk peninggalan kebudayaan adiluhung dengan nilai estetika begitu tinggi. Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa yang lantas dilagukan. Ia punya seabrek aturan. Misalnya, guru gatra atau jumlah baris dalam setiap bait. Ada juga guru wilangan, jumlah suku kata setiap baris. Aturan terakhir adalah guru lagu, jatuhnya huruf vokal pemungkas baris.

Rangkaian aturan itu menjadikan macapat diturunkan dalam berbagai jenis tembang. Yang paling sering dilagukan, misalnya, sembilan bentuk tembang alit (sederhana). Yakni, dhandhanggulamaskumambangsinom,kinanthiasmarandanadurmapangkurmijil, dan pocung.

Gadis kelahiran Surabaya, 7 Mei 1999, itu nembang pocung dalam lomba pertamanya. Tapi, dia masih belum diberi kesempatan meraih juara. Kata Dila, tembang pocung itu dilantunkan nyaris sama dengan lagu-lagu campursari Jawa lainnya. Hanya cengkoknya yang dijaga agar tidak terlampau melengking.

Meski belum menggondol piala, Dila tetap semangat berlatih di sekolah dengan kelompoknya, Karawitan Spega. Latihan itu dilakukan tiap Senin dan Rabu selama 2–3 jam. Lantaran berbakat, Dila terus didampingi guru karawitannya, Parman. Bahkan, Parman mau memprivat murid binaannya tersebut tatkala perlu latihan lebih serius.

Tembang yang dikuasai Dila berikutnya adalah asmarandana. Tentu, tembang tersebut lebih rumit ketimbang pocung. Asmarandana punya delapan baris, dua kali lipat lebih banyak ketimbang pocung. Nadanya juga pelog yang lebih tinggi satu oktaf ketimbang slendro. Artinya, lagu itu harus dibawakan dengan cengkok lebih ’’melengking’’ pada bagian-bagian tertentu lagu.

Meski sulit, saat nembang asmarandana itulah, talenta Dila benar-benar memukau orang lain. Mereka yang tidak paham tembang Jawa pun bakal terpikat suara indah dengan lengkingan-lengkingan khas tersebut.

Lagu yang lebih susah itu memang menantang Dila. Dia juga selalu ingat pesan Parman, pembinanya di sekolah. ’’Saat bernyanyi, harus paham dan mengerti maknanya. Sehingga menyanyikannya bisa lebih enjoy,’’ kata Dila menirukan pesan Parman, pembina tembang macapat SMPN 3 Surabaya.

Terbukti, lomba kedua dengan asmarandana itu membuahkan peringkat I dalam kejuaraan tingkat SMP se-Surabaya pada Desember 2013. Dila berhasil menyingkirkan 34 peserta saingannya. Memang, di Surabaya peminat tembang tersebut masih sedikit. Tidak banyak sekolah yang mengajari siswanya untuk memperdalam kebudayaan yang nyaris ditinggalkan orang itu.

Dila kembali berlomba pada Februari 2013. Selain menguasai teknik nembang, Dila melengkapi diri dengan kebaya. Busana memang punya nilai tambah yang kecil. Tapi, setidaknya, itu tetap lebih eye-catching ketimbang duta sekolah lain yang berseragam sekolah. ’’Saya ingin terlihat beda dari lomba sebelumnya,’’ ucap Dila.

Pada lomba ketiganya itu, Dila mengalahkan 58 peserta lainnya. ’’Wah, saya sempat grogi, sih. Tapi, ya maju aja. Tetap nekat,’’ katanya. Sikap percaya diri dan semangat tinggi yang dimiliki itulah yang membuatnya terus bisa berjuang hingga sekarang. Walhasil, siswa kelas IX-B tersebut selalu didapuk jadi sinden setiap sekolahnya bikin kegiatan.

Prestasi Dila jelas membanggakan sekolah dan orang tuanya. Selain itu, dia lebih mandiri. Sebab, suaranya ternyata mendatangkan duit. Saat pertama manggung, Dila diberi honor Rp 30 ribu. Kini penghasilannya mencapai Rp 350 ribu–400 ribu setiap tampil.

Dila tergolong anak yang tidak suka berdiam diri di rumah. Karena itu, di sela-sela belajar untuk persiapan ujian nasional, dia tetap berlatih. ’’Sehari aja nggak nyanyi, nggak enak rasanya,’’ ungkapnya.

Beruntung, keluarganya mendukung. Demikian pula ayahnya yang berprofesi sebagai seorang ustad. Toh, hobi Dila positif. Hobi itu juga menjadikannya begitu terkenal di kampungnya, kawasan Tegalsari. Bagi para tetangganya, Dila memang bak artis muda yang mau naik daun. Meski dia memilih meniti jalur yang tidak banyak diminati orang. Yakni, jalur kebudayaan Jawa yang sudah mulai kehilangan peminat.

(R.R. Indiani Kusuma/c6/dos)

http://www2.jawapos.com/baca/artikel/1780/jatuh-cinta-pada-dangdut-akhirnya-kasmaran-pada-tembang-jawa